Frans Kaisiepo, Pejuang Tangguh dari Papua
Pada 1964, Frans Kaisiepo ditunjuk Soekarno sebagai Gubernur Papua untuk menggantikan Eliezer Jan Bonay. Misi pertama yang diemban ketika menjadi gubernur Papua adalah memenangkan Indonesia dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Papera), yang sudah ditetapkan dalam perjanjian New York tahun 1969.
Dalam memudahkan penyatuan Papua ke Indonesia, Kaisiepo ditunjuk sebagai ketua Pengerak Musyawarah Besar Rakyat Irian Barat. Salah satu agenda yang dipersiapkan untuk melakukan penyatuan Papua dengan Indonesia.
Frans Kaisiepo begitu yakin bahwa rakyat Papua sudah mengenal dan mencintai Indonesia. Hal ini termuat dalam pidatonya di Kabupaten Jayawijaya yang dikutip Salikin Seomowadjojo dalam Papera,
Ia begitu gigih untuk membawa Papua masuk ke dalam kekuasaan wilayah Indonesia. Perjuangan ini sampai sering membawanya melakukan kampaye diberbagai wilayah di Papua, di antaranya; Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fak-fak, Sorong, Manokwari, Teluk Cenderawasih, dan Jayapura. Tujuannya untuk menyakinkan dewan agar memilih Indonesia.
Pada tahun 1969, Kaisiepo berhasil menjadi delegasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendengar hasil Papera. Perjuangannya membuahkan hasil—daerah Papua terintegrasi ke dalam wilayah Indonesia.
Menurut Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, yang dimuat di Historia, semasa kepemimpinan Kaisiepo, Papua mengalami pertumbuhan penduduk dan tingkat pendidikan rakyat Papua meningkat dibandingkan dengan masa kolonial.
Karier Di Politik
Frans Kaisiepo dilahirkan di Wardo, Biak, Papua, pada 10 Oktober 1921, sosoknya sangat terkenal sebagai aktivis gerakan kemerdekaan Indonesia di Papua.
Ia malang melintang di dunia politik dalam memperjuangkan Papua, akibat perjumpaannya dengan Soegoro Atmoprasodjo.
Kala itu tahun 1945, ia mengikuti kursus Kilat Pamong Praja di Kota Nica (Kampung Harapan), Holandia. Ada 150 putra Papua yang mengikuti kursus, satu di antaranya Kaisiepo.
Dari sini benih nasionalisme tumbuh di dalam dirinya. Pikiran Kaisiepo semakin kuat untuk mengintegrasikan wilayah Papua ke dalam Negara Indonesia Timur (NIT).
Di tahun 1946, Kaisiepo mendirikan Partai Indonesia Merdeka yang di ketuai Lukas Rumkofen. Saat itu juga, Kaisiepo mendapat kesempatan sebagai delegasi Papua dalam mengikuti Konferensi Malino di Sulawesi Selatan.
Di sana ia memainkan peranannya begitu epik. Tidak tanggung-tanggung, Kaisiepo mengusulkan pergantian nama Papua menjadi Irian.
Menurutnya, kata Papua diserap dari kata pua-pua yang berarti keriting, sehingga kata tersebut terkesan merendahkan orang lokal. Sementara itu, kata Irian diambil dari bahasa lokal Biak yang berarti Panas. Kaisiepo memberi perumpamaan: Irian sebagai cahaya yang mengusir kegelapan.
Dua tahun pasca Konferensi Malino, Kaisiepo bersama Partai Indonesia Merdeka melakukan gerakan pemberontakan terhadap Belanda di Biak, sehingga harus disekap di dalam tahanan.
Satu tahun sesudahnya, Kaisiepo kembali mendapat kesempatan dari pihak Belanda untuk menjadi delegasi wilayah Nugini di dalam Konferensi Meja Bundar di Nederland. Namun, ia menolak dengan mentah-mentah dan berserah diri menjadi tahanan politik mulai tahun 1954 – 1961.
Soekarno semakin geram kepada Belanda sehingga mengumandangkan Tiga Komando Rakyat (Trikora) tahun 1961. Di mana untuk merencanakan, mempesiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan wilayah Papua dengan Indonesia.
Pada tahun yang sama, Kaisepo mendirikan partai politik Irian Sebagian Indonesia (ISI). Melalui partai tersebut, Kaisiepo sangat berperan penting dalam melindungi para sukerelawan untuk melakukan infiltrasi ke wilayah Papua.
Belanda harus bertekuk lutut dan menyerahkan kekuasannya di wilayah Papua ke Indonesia di tahun 1963.
Perjuangan Kaisiepo terus berlanjut dengan membangun berbagai diplomasi, hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan wilayah Papua bagian dari Indonesia tahun 1969.
Kaisiepo memimpin Papua sebagai gubernur ke-4 sampai tahun 1973. Karier politiknya berakhir tahun 1979 sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang sekaligus menandai kepergian putra terbaik Papua itu.
Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cenderawasih di Biak. Berkat perjuangan Kaisiepo dalam penyatuan wilaya Papua ke tangan Indonesia, sehingga namanya diabadikan menjadi Bandar Udara di Biak dan nama kapal salah satu KRI, yakni KRI Frans Kaisiepo.
Dalam peringatan 30 tahun penyerahan Papua ke Indonesia di tahun 1993, Presiden Soeharto menganugerahi Frans Kaisipeo sebagai pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 077/TK/1993. Selain itu, ia mendapat penganugerahan Bintang Maha Putera Adi Pradana Kelas Dua.
Pada tahun 2016, Bank Indonesia meluncurkan kebijakan untuk mencantumkan Frans Kaisiepo pada bagian depan mata uang kertas Indonesia Rp 10.000. Hal ini dilakukan sebagai bentuk mengenang jasa pahlawan pejuang kemerdekaan Papua itu.
Kaisiepo meninggalkan tiga orang anak dari pernikahan dengan Anthomina Arwam. Ketika Anthomina Arwa meninggal Dunia, Kaisiepo kembali menikah dengan Magdalena Moorwahyuni yang berasal dari Demak, Jawa Timur. Dari pernikahan mereka berdua hanya memiliki satu anak.
Dikumpulkan dari berbagai sumber
Menarik Untukmu
Karya yang menarik untuk anda
Kebudayaan Nasional
Video seputar kebudayaan Indonesia
BKN Band - Lir Lir
Lir Ilir merupakan senandung yang berisikan nasihat kebaikan. Lagu ini diciptakan Sunan Kalijaga dan dijadikan sebagai sarana penyebar agama Islam terutama di pulau Jawa.