Soekarno, Natal, dan Umat Kristiani
Soekarno dan Perayaan Natal di Yogyakarta
Seperti yang kita ketahui Soekarno adalah, seorang pemimpin dari negara yang mayoritas rakyatnya beragama Muslim dan beliau pun seorang muslim yang taat. Meskipun Soekarno memiliki latar demikian, beliau tetap seorang yang sangat toleran dan adil. Kamis, 24 Desember 1947, Sukarno menghadiri peringatan Natal di Gereja Protestan Yogyakarta. Kala itu Yogyakarta menjadi Ibu kota Republik. Letak gereja hanya selemparan batu dari Istana Negara Gedung Agung, tepatnya di sebelah utara istana yang terletak di ujung selatan Jalan Malioboro.
Sukarno datang pada acara menjelang perayaan Natal untuk memberikan sambutan. Situasi masih tidak menentu, terutama karena Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947. Sukarno memandang penting untuk dapat menjalin hubungan baik dengan semua pihak, termasuk orang-orang Kristen, baik Protestan dan Katolik, yang ambil bagian dalam revolusi Indonesia. Setidaknya, tokoh Kristen macam Johannes Leimena, Johannes Latuharhary, IJ Kasimo adalah pejabat-pejabat republik.
Menghargai Kristiani dan Dihargai Vatikan
Pada Juni 1956, Sukarno berkunjung ke Vatikan pertama kali. Presiden pertama Indonesia ini diterima langsung oleh Paus Pius XIII pada 13 Juni 1956. Tiga tahun berselang dari kunjungan pertama, Sukarno kembali berkunjung ke Vatikan. Ia tiba di Vatikan pada 14 Mei 1959. Paus Yohanes XXIII sendiri yang langsung menerima kedatangan Sukarno saat itu. Tidak cukup dengan dua kunjungan tersebut, pada 1964 Sukarno kembali bertandang ke Vatikan.
Pada kunjungan terakhirnya ini, pihak Vatikan bahkan membuatkan prangko khusus untuk Sukarno. Tak hanya itu, Vatikan juga menghadiahi Sukarno dengan sebuah cenderamata berupa lukisan mosaik Castel san Angelo Vatican. Dalam delapan tahun, Sukarno bahkan berkunjung tiga kali! Lebih istimewa lagi, Sukarno disambut oleh Paus yang berbeda-beda yaitu Paus Yohanes XXIII, Paus Pius XIII dan Paus Paulus VI. Ini bukan jumlah kunjungan yang biasa, apalagi mengingat Sukarno sendiri seorang muslim, sekaligus pemimpin sebuah negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia.
Pada setiap kunjungan tersebut, Sukarno menerima medali penghargaan tertinggi dari Vatikan. Dan Si Bung Besar bangga dengan hal itu. Dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, Sukarno berkata: “Bahkan Presiden Irlandia pun mengeluh padaku bahwa dia hanya memperoleh satu. lanjut Bung Karno.” “Saya saja hanya punya satu penghargaan dari Vatikan. Saya iri dengan Anda,” keluh De Valera, sebagaimana dituturkan Sukarno kepada Cindy Adams.
Bagi Romo Y.B. Mangunwijaya, medali yang diberikan langsung oleh Paus di Vatikan ini bukan semata karena Sukarno berkunjung ke Roma belaka. Lebih dari itu, Sukarno dianggap prototipe pemimpin yang dapat mengayomi setiap kelompok, termasuk berbagai agama. Pancasila dianggap sebagai jasa besar Sukarno yang membuat Indonesia, setidaknya pada saat itu, bisa menjadi contoh yang bagus bagaimana kehidupan antar umat beragama dapat berlangsung.
Soekarno dengan rasa toleransinya tidak perlu diragukan dan dipertanyakan lagi. Beliau adalah seorang muslim sejati, tetapi juga seorang yang sangat menghormati perbedaan. Bahkan dalam suatu perayaan natal di Tahun 1955, Bung Karno pernah berujar demikian, “Spanduk di depan saya tertulis: ‘Yesus adalah gembala yang baik. Itu salah.., itu keliru…’” terangnya. “Yang benar begini: Sesungguhnya Yesus adalah Gembala yang Terbaik …!”.
Sumber: Tirto.id dan penabur.id